December 06, 2011

Nama

aaah tiba tiba ingin membahas nama.
yaaah selama ini selalu saja tidak suka dipanggil Mellysa, sedangkan itu nama depan. kata pertama yang akan diingat dan dikenali orang sebagai salah satu identitas diri.


tapi makin kesini, yasudahlah.... susah mengatur mereka untuk langsung ke Anastasya saja dan lewati Mellysa. memang tidak jelek sih, tapi terasa tidak cocok dengan gambaran diri. terlalu manis. ugh.


hey, sebut saya Mellysa. agar terbiasa. siapa tau akhirnya pasrah...

Mereka

seharusnya yang sekarang dipikirkan dan dikerjakan sih essay yang menumpuk.
tapi pikiran terusik mereka yang mengeluh dengan masalahnya.
mereka--keluarga--orangtua--bertengkar--cerai--meninggal.


jadi ingat, ada teman yang dikhawatirkan yang lainnya akan stres karena orangtuanya berantem lagi. Lalu si anak akan pergi kesana kemari, mencari hiburan sampai lelah agar lupa masalahnya. lupa tapi tidak selesai.


lalu ada yang marah, sedih, mengeluh, kecewa, dan menyesal akan hidupnya, karena orangtuanya akan (atau sudah) bercerai. saya tau kurang pantas berkomentar karena toh belum pernah ada di posisi mereka yang orangtuanya selalu ribut malah ada yang bercerai. tapi saya merasa cukup paham karena kan saya juga banyak punya teman lainnya yang punya pengalaman serupa malah lebih parah. saya tahu kisah mereka dan solusi yang mereka terapkan jadi saya punya gambaran, maka saya pun terus saja mengoceh...


yang lalu menarik adalah saat seorang teman lain yang punya kondisi begini: anak yatim-piatu. sejauh pendengaran, kurang dekat juga dengan kedua orang tua. sudahlah... lanjut... 
Dia mengomentari omongan teman yang orangtua nya bercerai di media saat mengeluh dengan kata-kata kurang menyenangkan, kurang lebih katanya 'lebih baik ada ribut-ribut keluarga daripada orangtua sudah meninggal lalu tidak bisa dikata-katai' . menurut saya sindiran halus yang cukup mengena. dan sejauh ini saya setuju, karena yaa selama orangtua masih hidup, itu baik.


tapi sepertinya ia yang orangtua nya bercerai tidak sepakat dan membalas dengan perkataan yang kurang lebih 'lebih baik jadi yatim piatu daripada ada dalam broken home' hmm.... lalu saya berpikir, awalnya langsung tidak setuju dan berpikir bodoh sekali ia, baru tahu nanti rasanya saat benar-benar meninggal. tapi... tidak sekali juga saya mendegar orang berkata lebih baik tidak punya orangtua sama sekali (atau meninggal) daripada harus melihat mereka terus-menerus bertengkar dan menyakiti satu sama lain. dampaknya dahsyat --> kecewa dan tidak percaya lagi akan namanya cinta . yaaah susah juga ya kalau karena orang lain, sisa hidup tidak menikmati cinta. kan katanya cinta itu akar kehidupan...


ini jarang terjadi akhir-akhir ini, tapi karena doktrin agama yang kuat dari kecil, tidak dapat menampik bahwa pikiran saya akarnya yah agama dengan Tuhannya. Opini saya, emosi dia yang meledak ledak, secara tidak langsung menginginkan kematian orang lain, ya karena dia belum merasakan cinta yang sebenarnya. semacam belum bisa berdamai dengan diri sendiri, dengan Tuhannya, apalagi dengan orangtua nya...


segitu sajalah. ini toh bukan urusan atau masalah saya. hanya saja mereka teman-teman yang saya kenal. ingin mereka tidak menyesal dengan omongan yang terlanjur terucap. 
SELALU, saat ada di dalam masalah, seberat apapun, ingat bukan anda satu-satu nya orang yang mengalami. Dunia ini setahu saya luas dan besar, orangnya banyak, banyak sekali. Masalah selalu ada yang lebih sukar dan runyam dari yang kita kira dan alami.  Sekian.